Perasaanku hari ini sangat tidak nyaman. Waktu serasa mundur beberapa tahun. Aku ingat rasanya, aku tahu betul. Dulu, setiap tersakiti, aku menangis. Menangis memang melegakan. Hatiku hancur, rasanya dunia seperti neraka. Aku tidak ingin disana. Aku ingin pergi sejauh mungkin, menghilang kalau perlu. Sampai akhirnya aku tiba disuatu titik, dimana aku merasa cukup air mataku tumpah untuk menangisi Si Raksasa.
Perlahan- lahan, aku mulai membangun fondasi. Fondasi yang kuat, walau tiap hari, Raksasa datang dan menghancurkannya lagi. Sekali hancur, aku bangun dua kali. Dua kali hancur, aku bangun empat kali. Seratus kali hancur, aku bangun seribu kali lebih kuat. Aku bertekad aku akan dan harus bertahan. Tak akan pernah aku berlari darinya. Akhirnya, setelah bertahun- tahun aku membangun, selesailah fondasi itu. Aku tersenyum puas. Kini saatnya membangun dinding.
Pada tahap ini, serangan Raksasa kian brutal, namun aku tak lagi gentar, walau dia masih bisa melukaiku. Aku mulai membangun dindingku dengan batu adamas (intan), yang dalam bahasa Yunani berarti "tak tertaklukkan". Aku ingin istanaku nanti menjadi kuat, indah, dan berharga.
Beberapa waktu kemudian, istanaku jadi. Aku bahagia didalamnya. Tak perlu lagi aku takut, sakit, sedih, gusar, marah, dan dendam pada Raksasa itu. Menghiraukannya, sama saja dengan buang- buang waktu dan tenaga.
Sementara itu, ia marah dan serangannya makin menjadi- jadi karena melihat mangsanya, yaitu aku, hidup dalam ketenangan. Ia mulai melemparkan bebatuan, berteriak, mencakar dinding istana, bahkan mencoba mendobrak masuk. Tapi apa yang ia dapatkan? Rasa lelah, amarah, dan luka yang ia dapatkan akibat serangannya sendiri.
Aku mengintip dari jendela. Yang aku lihat, dia bukan marah kepadaku, tapi marah kepada dirinya sendiri. Tiba- tiba aku tergerak oleh rasa kasihan. Ia hanyalah Raksasa yang tidak bahagia. Lalu aku memutuskan, untuk menunggunya hingga ia benar- benar kehabisan tenaga.
Setelah lama menanti, diapun terduduk lemas didepan pintu. Aku turun ke lantai bawah, kemudian bertanya dari balik pintu, "Sudah selesai? Maukah kamu masuk dan bergabung bersamaku?"
Tapi ia hanya diam, kemudian aku dengar debuman langkahnya menjauhi istanaku. Mungkin ia malu, atau hanya terlalu lelah. Aku tidak tahu. Buat apa memaksanya masuk kalau ia tidak mau? Inilah sepenggal kisahku bertahan dari Si Raksasa.. Diam- diam aku berterima kasih. Mungkin kalau Raksasa itu tak menyerangku, aku tak akan pernah mengetahui bagaimana cara bertahan.. :)
Beberapa waktu kemudian, istanaku jadi. Aku bahagia didalamnya. Tak perlu lagi aku takut, sakit, sedih, gusar, marah, dan dendam pada Raksasa itu. Menghiraukannya, sama saja dengan buang- buang waktu dan tenaga.
Sementara itu, ia marah dan serangannya makin menjadi- jadi karena melihat mangsanya, yaitu aku, hidup dalam ketenangan. Ia mulai melemparkan bebatuan, berteriak, mencakar dinding istana, bahkan mencoba mendobrak masuk. Tapi apa yang ia dapatkan? Rasa lelah, amarah, dan luka yang ia dapatkan akibat serangannya sendiri.
Aku mengintip dari jendela. Yang aku lihat, dia bukan marah kepadaku, tapi marah kepada dirinya sendiri. Tiba- tiba aku tergerak oleh rasa kasihan. Ia hanyalah Raksasa yang tidak bahagia. Lalu aku memutuskan, untuk menunggunya hingga ia benar- benar kehabisan tenaga.
Setelah lama menanti, diapun terduduk lemas didepan pintu. Aku turun ke lantai bawah, kemudian bertanya dari balik pintu, "Sudah selesai? Maukah kamu masuk dan bergabung bersamaku?"
Tapi ia hanya diam, kemudian aku dengar debuman langkahnya menjauhi istanaku. Mungkin ia malu, atau hanya terlalu lelah. Aku tidak tahu. Buat apa memaksanya masuk kalau ia tidak mau? Inilah sepenggal kisahku bertahan dari Si Raksasa.. Diam- diam aku berterima kasih. Mungkin kalau Raksasa itu tak menyerangku, aku tak akan pernah mengetahui bagaimana cara bertahan.. :)
Komentar
Posting Komentar