Langsung ke konten utama

Aku dan Raksasa

Perasaanku hari ini sangat tidak nyaman. Waktu serasa mundur beberapa tahun. Aku ingat rasanya, aku tahu betul. Dulu, setiap tersakiti, aku menangis. Menangis memang melegakan. Hatiku hancur, rasanya dunia seperti neraka. Aku tidak ingin disana. Aku ingin pergi sejauh mungkin, menghilang kalau perlu. Sampai akhirnya aku tiba disuatu titik, dimana aku merasa cukup air mataku tumpah untuk menangisi Si Raksasa.

Perlahan- lahan, aku mulai membangun fondasi. Fondasi yang kuat, walau tiap hari, Raksasa datang dan menghancurkannya lagi. Sekali hancur, aku bangun dua kali. Dua kali hancur, aku bangun empat kali. Seratus kali hancur, aku bangun seribu kali lebih kuat. Aku bertekad aku akan dan harus bertahan. Tak akan pernah aku berlari darinya. Akhirnya, setelah bertahun- tahun aku membangun, selesailah fondasi itu. Aku tersenyum puas. Kini saatnya membangun dinding.

Pada tahap ini, serangan Raksasa kian brutal, namun aku tak lagi gentar, walau dia masih bisa melukaiku. Aku mulai membangun dindingku dengan batu adamas (intan), yang dalam bahasa Yunani berarti "tak tertaklukkan". Aku ingin istanaku nanti menjadi kuat, indah, dan berharga.
Beberapa waktu kemudian, istanaku jadi. Aku bahagia didalamnya. Tak perlu lagi aku takut, sakit, sedih, gusar, marah, dan dendam pada Raksasa itu. Menghiraukannya, sama saja dengan buang- buang waktu dan tenaga.

Sementara itu, ia marah dan serangannya makin menjadi- jadi karena melihat mangsanya, yaitu aku, hidup dalam ketenangan. Ia mulai melemparkan bebatuan, berteriak, mencakar dinding istana, bahkan mencoba mendobrak masuk. Tapi apa yang ia dapatkan? Rasa lelah, amarah, dan luka yang ia dapatkan akibat serangannya sendiri.

Aku mengintip dari jendela. Yang aku lihat, dia bukan marah kepadaku, tapi marah kepada dirinya sendiri. Tiba- tiba aku tergerak oleh rasa kasihan. Ia hanyalah Raksasa yang tidak bahagia. Lalu aku memutuskan, untuk menunggunya hingga ia benar- benar kehabisan tenaga.
Setelah lama menanti, diapun terduduk lemas didepan pintu. Aku turun ke lantai bawah, kemudian bertanya dari balik pintu, "Sudah selesai? Maukah kamu masuk dan bergabung bersamaku?"

Tapi ia hanya diam, kemudian aku dengar debuman langkahnya menjauhi istanaku. Mungkin ia malu, atau hanya terlalu lelah. Aku tidak tahu. Buat apa memaksanya masuk kalau ia tidak mau? Inilah sepenggal kisahku bertahan dari Si Raksasa.. Diam- diam aku berterima kasih. Mungkin kalau Raksasa itu tak menyerangku, aku tak akan pernah mengetahui bagaimana cara bertahan.. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mata Asing

Waktu kita berbaring di atas gemerlapnya pasir pantai malam itu , tiba- tiba kamu mengajukan pertanyaan yang selama ini masih terus kucari jawabannya; "Apa cita- citamu?" "Banyak", cuma itu saja jawabku, karena terlalu susah menjelaskan kalau aku punya segudang cita- cita gila. Misalnya, kerja di NatGeo, jadi penulis, bikin museum dongeng, tourguide , dsb. Singkatnya, banyak! Jujur, aku tidak tahu apa yang benar- benar pandai kukerjakan. Aku bahkan juga bingung kenapa aku belajar mandarin! Jadi, keinginan di atas sepertinya mustahil. Untuk beberapa saat, kita terdiam dalam keheningan sambil menatap lautan bintang yang sepertinya kurang cahaya, bersimpati pada jiwaku yang muram. Aku menoleh memandang matamu yang sedang mengangkasa, mencoba menerka apa yang kamu pikirkan. Mungkin cita- citamu, atau mantan yang baru mencampakkanmu bulan lalu. Setidaknya, sinar bulan puranama yang berpendar dikedua mata besar nan indah itu memberitahuku bahwa aku tak sendiri. Kita

Wawancara dengan Sarwendah Kusumawardhani :)

Pada kesempatan kali ini, saya dan teman saya berkesempatan mewawancarai Sarwendah Kusumawardhani, mantan pemain bulutangkis nasional yang kami temui di tempat pelatihannya di GOR SARWENDAH, Jalan Balai Rakyat. Berikut perbincangan kami. P : Selamat sore, tante. Boleh kami minta waktu sejenak untuk wawancara? J : Oh, iya. Silahkan. P : Sejak kapan tante mulai tertarik dengan dunia bulutangkis? J : Tante mulai tertarik main bulutangkis sejak umur 9 tahun. Kemudian tante mulai belajar diusia 10 tahun, dan mulai bersungguh- sungguh bermain waktu umur 15 tahun saat tante kelas 3 SMP. P : Apa yang membuat tante tertarik dengan dunia bulutangkis ? J : Tante kepengen kayak kakak tante. Dia juara bulutangkis, bahkan kakak sering dikirim keluar negeri dan ikut lomba bulu disana. Tante itu terinspirasi dari kakak. Selain itu kan, orang tua tante kan juga pemain bulutangkis. P : Oooh..Gitu ya. Apa orang tua mendukung tante ? J : Dukung ban

Promnight SMAK 7 BPK PENABUR 2013-2014, 16 Mei 2014

Ah gila! Gak kerasa SMA udah mau selesai (walopun hari ini belom tau sih lulus apa engga). Tiba- tiba udah prom aja. Nah, karena hari ini Jeje masih di Singapur, jadi iik gak nganter dan aku cari tebengan. Seperti biasa, ada dua kandidat, Geraldi dan Ryan. Tapi, berhubung aku deket sama Esther (yayangnya Aldi), jadilah Geraldi yang jadi korban. Hahahaha XP Sebenernya, promnya mulai jam 6. Tapi, namanya juga nebeng, aku ke salon nunggu Esther. Kata Esther sih, Geraldi bakal jemput dia jam 3 sore. Takut macet. Biasa... Jakarta gituloh.. -_- Jam setengah tiga aku udah sampe di My Salon dan Ester lagi didandanin. Eh, disitu aku juga ketemu sama beberapa temen SMAK 7 lainnya. Feli, Seli, & Meryl. Walah.. Pada nyalon disitu toh... Jam tiga Eteng udah selesai dandan, dan kalian tau berapa harganya?!!! 425 ribu! Aku sampe kaget! Lebih- lebih Esther. Padahal cuma rambut sama make up PAC doang. Wow~ Habis salonku buat wisuda cuma Rp 135.000 (make up sama rambut). Sekarang udah jam set