Langsung ke konten utama

Mata Asing

Waktu kita berbaring di atas gemerlapnya pasir pantai malam itu , tiba- tiba kamu mengajukan pertanyaan yang selama ini masih terus kucari jawabannya;
"Apa cita- citamu?"
"Banyak", cuma itu saja jawabku, karena terlalu susah menjelaskan kalau aku punya segudang cita- cita gila. Misalnya, kerja di NatGeo, jadi penulis, bikin museum dongeng, tourguide, dsb. Singkatnya, banyak!
Jujur, aku tidak tahu apa yang benar- benar pandai kukerjakan. Aku bahkan juga bingung kenapa aku belajar mandarin! Jadi, keinginan di atas sepertinya mustahil.
Untuk beberapa saat, kita terdiam dalam keheningan sambil menatap lautan bintang yang sepertinya kurang cahaya, bersimpati pada jiwaku yang muram. Aku menoleh memandang matamu yang sedang mengangkasa, mencoba menerka apa yang kamu pikirkan. Mungkin cita- citamu, atau mantan yang baru mencampakkanmu bulan lalu. Setidaknya, sinar bulan puranama yang berpendar dikedua mata besar nan indah itu memberitahuku bahwa aku tak sendiri. Kita berdua, dari dua negara yang berbeda kemari hanya untuk menemukan diri sendiri, bukan melarikan diri.
"Apa ketakutan terbesarmu?" kamu berbalik arah menatap mataku lekat- lekat.
"Menyesal.Kamu?"
"Kesepian..."
"Bukan mati?" timpalku lagi.
Kita berdua lalu terbahak- bahak seperti dua orang mabuk Red Horse. Aku tertawa karena kalaupun mati sekarang itu tak jadi soal. Buat apa mengkhawatirkan sesuatu yang pasti terjadi? Buang tenaga.
Tapi, aku tak mampu menebak alasan dibalik tawamu. Mengapa matamu harus sehitam malam? Terlalu gelap. Percuma. Cukup kamu saja yang tahu.
Tiba- tiba, ada seekor Rotwiller gembul datang dan melesakkan tubuhnya yang tambun di antara kita, ingin duduk rupanya. 
"Kamu iri? Atau dingin?", sembari dia kupeluk dan kuciumi.
Sementara itu, manusia yang tadinya berbaring di sebelahku, kini sudah berdiri siaga, menatap anjing lucu itu dengan kengerian luar biasa.
"Ka.. Kamu nggak takut digigit?", katanya terbata- bata.
"Ha?! Jadi kamu lebih takut anjing daripada mati? Hahahahaha!!!"
"........."
"Kenapa tak teriak?"
"...I lost my voice"
"I'm sure you lost your breath also!"
Setelah dia kuusir pulang ke pemiliknya, barulah lelaki itu berani duduk di sampingku lagi sambil mengatur nafasnya yang tadi sempat putus. Untung saja dia tak pingsan.
"Sudah jam dua belas. Ayo pulang.."
"Please, kamu bukan Cinderella! Hahaha!!"
Sial. Sekarang giliranku yang diolok-olok.
Kata orang, perbincangan larut malam adalah yang terjujur. Ternyata memang benar. Kamu mulai berceloteh tentang kisah cintamu yang hanya dua kali. Semuanya kandas dan kamu selalu jadi pihak yang ditinggalkan. Lalu kamu membahas tentang pengalamanmu dikepung lima anjing dan tenggelam di laut sampai masuk UGD karena nyaris mati.
"Katamu, kamu phobia laut. Tapi kenapa malah cinta pantai?"
"Aku juga gak tau. Kadang aku malah mencintai sesuatu yang aku takuti.
Kalau kamu? Apa kamu "takut" denganku?" 
"Menurutmu?", balasku sambil tersenyum.
"Tenang.. Kamu aman bersamaku. Aku bukan laki- laki seperti itu."
"Seperti apa? Hahahaha!"
Tawa kamipun pecah bersama ombak yang menggelitiki kaki kami.
Sudah jam satu. 
El Nido, kau luar biasa! Membuatku menghabiskan malam terakhirku di pantai sepi bersama orang asing yang baru kukenal lima jam lalu! Anehnya, aku malah merasa nyaman dan lepas. Orang ini menyenangkan!
Seakan berlomba dengan Sang Fajar, kata- kata tak berhenti meluncur dari bibirmu. Pengetahuanmu luas, tidak bodoh seperti laki- laki kebanyakan. Baiklah! Kudengarkan semampuku. Kan kutantang purnama itu untukmu. Dalam hati kubersumpah; "Hanya malam ini saja."
Kuakui, lelaki ini benar- benar pandai menguntai kata. Sederhana, tapi berkesan. Kehangatan suaramu yang lembut mengacaukan pikiranku. Aku ingin tidur. Langkahku limbung. Dengan sigap, kamu menarik tanganku, lalu mengecupnya.
"Hati- hati, jangan jatuh.."
Belum sempat aku sadar apa yang terjadi, kamu sengaja menarikku jatuh. Jatuh ke dalam pelukkanmu.  
"Bangun.. Buka matamu.."
Nadamu kini terdengar setengah memohon.
Masih dengan mata setengah terpejam, aku tertawa menimpali;
"Kamu yang seharusnya hati- hati. Katamu, kamu bisa mengontrol diri. Jangan jatuhkkan hatimu lagi."
Kamu hanya diam dan mempererat pelukannya. Pertama kali seseorang memelukku seperti ini. Aku tak lagi menggigil kedinginan. Kugantungkan daguku di atas bahumu dan kuraba rambut ikalmu, yang ternyata tak kalah hitam dan indah dari matamu.
"Andaikan kamu terlahir sebagai perempuan, pasti kamu luar biasa cantik.", bisikku di telinganya.
Aku bisa merasakan kamu tersenyum di balik punggungku. Kuhela nafas panjang- panjang. Tercium aroma tubuhmu yang bau laut. Aku menyesal pergi bersamamu. Kamu benar- benar tahu cara memperlakukan perempuan. Dalam hati tak hentinya kukutuk surya agar tak usah terbit pagi ini.
Aku tidak tahu berapa lama kita berpelukan. Sepertinya cukup untuk membuat okstosin bekerja dalam darahku.  Jika kamu memelukku lebih lama, aku tak yakin aku kuat melepasmu.
"Oke, oke..Sudah cukup"; sambil kutepuk- tepuk punggungmu.
Kamu tertawa. Lagi- lagi tawa itu. Tawa yang dapat membekukan sekaligus mempercepat waktu. Dengan hati- hati, kamu meletakkan keningmu di atas keningku.
"Lihat aku.", pintamu.
Kuberanikan diri membalas tatapan matamu walaupun aku tahu aku pasti kalah.
Matamu berkerlip, menambah sepasang bintang di atas sana. Aku baru sadar kamu juga memiliki bulu mata tebal dan lentik, impian semua wanita. Aku bersedia membunuh demi matamu. Aku terlena, lupa kalau kamu juga sedang memperhatikanku.
"Tak usah berlagak seperti seorang telepatis. Kamu tak tahu aku.", tukasku.
"Kamu juga bukan hakim."
"........"
"Ngomong- ngomong, bagaimana caramu mencintai seseorang?"
"Membebaskannya..", jawabku datar.
Setelah berpikir sejenak, kamupun melanjutkan;
"Bagaimana caramu melepasnnya kalau kamu membebaskannya?"
"Dengan mencintainya..", ujarku sok puitis.
"Hahaha! Andai aku bisa sepertimu!"
Kamu adalah orang pertama yang menanyakan berbagai pertanyaan ajaib yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Kalau aku diijinkan memilih satu kekuatan super, aku akan memilih kekuatan telepati demi mengintip isi kepalamu mumpung kening kita masih menempel.
Tiba- tiba, aku merasakan sesuatu yang dingin di keningku. Ternyata itu bibirmu. Mataku berkaca- kaca. Kamu tak layak disakiti. Terbawa suasana, kamu mulai menciumiku. Aku terkejut karena aku tidak merasakan apapun kecuali rasa hausmu akan cinta seorang perempuan.
Masih tak percaya, akupun membuka mata hanya untuk melihat matamu tengah tertutup rapat. Sial! Aku merasa agak sedikit egois karena setahuku, orang yang menutup matanya berarti sedang membuka hatinya.
Maafkan aku telah mencobaimu, sayang. Kamu boleh menyukaiku tapi jangan pernah mencintaiku. Aku mati rasa.
Kupikir- pikir lagi, rasanya tak adil buatku kalau cuma kamu yang menikmatinya. Aku nekat menutup mataku dan membalas ciumanmu. Aku bisa merasakan tanganmu yang tadinya memegang wajahku pelan- pelan turun memeluk pinggangku. Dosa apa yang kuperbuat di masa lalu sehingga kukembali mencobai diri? Ah, sudahlah! Bodoh amat kalau- kalau nanti aku patah hati dimakan rindu! Itu karmaku! Setidaknya aku di sini berbagi rasa denganmu agar kamu tak menanggungnya seorang diri.
Secercah semburat cahaya di langit fajar menyadarkanku. Kita dikalahkannya.
"Kita harus berpisah, telah tiba waktunya.", kuraih sebelah tangannya dan kukecupnya.
"Kita hanyalah budak waktu."
"Iya, aku tahu. Perjalanan masih panjang."
Kamipun berjalan ke arah penginapan tanpa bergandengan, menyiapkan diri untuk berpisah. Setelah mandi dan mengepak barang masing- masing, aku menemuimu yang telah menunggu di lobi. Rupanya, sudah ada yang menjemputmu.
Untuk yang terakhir kalinya, aku memelukmu kuat- kuat dan berbisik;
"Selamat tinggal! Kamu layak untuk bahagia!"
"Terima kasih! Kamu manis! Bibirmu juga!" 
"Yours is salty! Okay! See you in another life!"
Kamu tahu? Kamu bilang padaku kamu selalu ditinggalkan. Tapi sepertinya hukum itu sudah tak berlaku lagi untukmu. Kamu meninggalkanku hanya dengan sebuah kenangan yang kan kuingat sampai mati. Itu cukup buatku. Tak kurang dan tak lebih.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wawancara dengan Sarwendah Kusumawardhani :)

Pada kesempatan kali ini, saya dan teman saya berkesempatan mewawancarai Sarwendah Kusumawardhani, mantan pemain bulutangkis nasional yang kami temui di tempat pelatihannya di GOR SARWENDAH, Jalan Balai Rakyat. Berikut perbincangan kami. P : Selamat sore, tante. Boleh kami minta waktu sejenak untuk wawancara? J : Oh, iya. Silahkan. P : Sejak kapan tante mulai tertarik dengan dunia bulutangkis? J : Tante mulai tertarik main bulutangkis sejak umur 9 tahun. Kemudian tante mulai belajar diusia 10 tahun, dan mulai bersungguh- sungguh bermain waktu umur 15 tahun saat tante kelas 3 SMP. P : Apa yang membuat tante tertarik dengan dunia bulutangkis ? J : Tante kepengen kayak kakak tante. Dia juara bulutangkis, bahkan kakak sering dikirim keluar negeri dan ikut lomba bulu disana. Tante itu terinspirasi dari kakak. Selain itu kan, orang tua tante kan juga pemain bulutangkis. P : Oooh..Gitu ya. Apa orang tua mendukung tante ? J : Dukung ban

Promnight SMAK 7 BPK PENABUR 2013-2014, 16 Mei 2014

Ah gila! Gak kerasa SMA udah mau selesai (walopun hari ini belom tau sih lulus apa engga). Tiba- tiba udah prom aja. Nah, karena hari ini Jeje masih di Singapur, jadi iik gak nganter dan aku cari tebengan. Seperti biasa, ada dua kandidat, Geraldi dan Ryan. Tapi, berhubung aku deket sama Esther (yayangnya Aldi), jadilah Geraldi yang jadi korban. Hahahaha XP Sebenernya, promnya mulai jam 6. Tapi, namanya juga nebeng, aku ke salon nunggu Esther. Kata Esther sih, Geraldi bakal jemput dia jam 3 sore. Takut macet. Biasa... Jakarta gituloh.. -_- Jam setengah tiga aku udah sampe di My Salon dan Ester lagi didandanin. Eh, disitu aku juga ketemu sama beberapa temen SMAK 7 lainnya. Feli, Seli, & Meryl. Walah.. Pada nyalon disitu toh... Jam tiga Eteng udah selesai dandan, dan kalian tau berapa harganya?!!! 425 ribu! Aku sampe kaget! Lebih- lebih Esther. Padahal cuma rambut sama make up PAC doang. Wow~ Habis salonku buat wisuda cuma Rp 135.000 (make up sama rambut). Sekarang udah jam set